Expanding Horizon with RAYYA, Cahaya di Atas Cahaya

ps: the article below is written in Bahasa Indonesia. It was meant as an 'assignment' after I got the ticket to watch Rayya for free, from one of my colleagues at work. She asked me to write a paper explaining what I got after watching this movie. and here's what I came up with. :) beware, it may contain spoilers.


Title: RAYYA, Cahaya di Atas Cahaya
Genre: Drama, Road Movies
Director: Viva Westi
Scriptwriters: Emha Ainun Nadjib & Viva Westi
Casts: Titi Sjuman, Tio Pakusadewo, Alex Abbad, Christine Hakim, Lila Azizah, Masayu Anastasia

Rate: ♥♥♥




Rayya yang merupakan film besutan sutradara Viva Westi ini pada dasarnya mengisahkan perjalanan sang tokoh utama, Rayya, bersama seorang fotografer paruh baya, Arya, dari Jakarta sampai ke Bali. Perjalanan ini dimaksudkan sebagai waktu untuk memotret Rayya sebanyak-banyaknya untuk bahan buku autobiografi Rayya yang akan dibuat. Awalnya film ini nampak seperti film lain pada umumnya yang bercerita tentang hal serupa, yaitu kehidupan seorang selebritis kondang. Namun, persepsi tersebut terbukti salah, karena Rayya bukanlah film yang menceritakan sisi lain seorang public figure dengan cara yang biasa. Film Rayya, Cahaya di Atas Cahaya ini termasuk film sarat makna dengan genre road movies, yang berusaha mengangkat isu-isu dan juga perdebatan yang sering timbul di masyarakat. Melalui film ini, nampaknya sang sutradara ingin menunjukkan realitas sosial yang ada di tengah kehidupan di Indonesia yang kompleks.

Rayya yang diperankan oleh Titi Sjuman digambarkan sebagai sesosok artis cerdas, multitalenta, dan sangat kritis. Sebagai bintang pujaan banyak orang di Indonesia, Rayya seharusnya punya hidup yang sempurna, yang diidamkan orang. Tetapi, di balik apa yang tampak dari luar, Rayya ternyata punya masalah percintaan pelik yang membuatnya hampir depresi dan berkeinginan untuk bunuh diri. Dirinya menjalin hubungan dengan seorang pilot bernama Bram, yang ternyata sudah beristri dan akan segera mempunyai anak. Tak ayal, pengkhianatan Bram ini menorehkan luka yang sangat dalam di hati Rayya. Sejak awal Rayya memang pribadi yang unik, dan masalahnya dengan Bram membuat dirinya menjadi pribadi yang lebih sulit dipahami oleh orang lain. Di sinilah Arya masuk dan menjadi orang yang berperan penting dalam hidup seorang Rayya.

Diceritakan Arya adalah seorang fotografer sukses yang lebih nyaman memotret dengan cara lama dan menggunakan kamera analog, sehingga terkadang dipandang ketinggalan zaman. Berbeda dengan Rayya yang punya kepribadian bebas dan cenderung ceplos, Arya yang diperankan oleh Tio Pakusadewo adalah sosok pria yang tenang, dan tampak sangat menikmati hidup. Namun, ternyata di balik wajah yang tenang tersebut tersimpan pula kepedihan karena dikhianati sang istri, Dea. Rumah tangganya hancur karena istrinya meninggalkannya untuk pria lain. Tidak seperti Rayya yang kemudian menyimpan dendam, Arya lebih bisa ikhlas dan tidak memendam amarah.

Dua insan berbeda ini ternyata mampu mengimbangi satu sama lain. Dalam perjalanan dari Jakarta ke Bali, dan pemberhentian di berbagai tempat untuk sesi pemotretan, ternyata membuat mereka saling belajar satu sama lain sehingga pada akhirnya mampu untuk melanjutkan hidup dengan lebih bahagia karena berhasil melepas beban yang ada sejak lama. Melalui film ini, penonton diajak untuk menilik kehidupan berbagai lapisan masyarakat di Indonesia. Dari yang dianggap menduduki kasta tertinggi di masyarakat, sampai mereka yang dianggap adalah bagian dari kasta rendahan.

Banyak nilai-nilai hidup yang bisa dipetik dari film yang naskahnya ditulis oleh budayawan Emha Ainun Nadjib ini. Rayya yang arogan seakan dipukul harga dirinya saat uang Rp 50.000 yang disodorkannya pada seorang ibu penjual karak ditolak, karena si ibu merasa tidak sedang mengemis, namun berjualan. Lewat adegan singkat ini, kita disadarkan bahwa walaupun tidak hidup bergelimpangan materi, namun harkat dan martabat yang kita junjung tinggi mampu membuat hidup kita ‘berkecukupan’. Kita tidak lebih tinggi maupun lebih rendah dibanding manusia lain. Kata-kata Rayya yang dikatakan Arya ‘telanjang banget’ juga mampu menggelitik nalar kita, seperti ketika Rayya berkata bahwa hanya manusia yang punya  kemampuan menjadi serigala sekaligus domba, dan seorang pria/wanita tidak mampu untuk setia dan dengan mudah bermain dengan gacoannya.

Rayya yang dengan enteng berkata bahwa dirinya mampu membuat laki-laki manapun mencium kakinya tidak mampu menahan emosi ketika melihat perjuangan para pekerja wanita dan seorang bocah lelaki memecahkan batu menjadi kerikil untuk menyambung hidup. Film ini juga berusaha menyampaikan pesan betapa mudah sebenarnya untuk bahagia. Tidak perlu bergelimpangan harta, tidak perlu punya banyak barang mewah. Bahagia bisa didapatkan ketika kita menemukan pasangan hidup dan mensyukuri anugrah tersebut. Bahagia adalah ketika kita bisa membuat hidup lebih bermakna dengan berbagi pada orang lain. Bahagia adalah ketika kita mampu hidup dengan jujur pada diri sendiri.

Lewat tokoh budenya Arya yang diperankan Christine Hakim, kita diingatkan bahwa masih ada manusia di luar sana yang mengabdikan dirinya untuk menjadi berguna bagi orang lain, untuk mengajarkan nilai-nilai mulia lewat ‘kurikulum kehidupan’. Walau kita tidak punya hidup berkelimpahan, kita masih bisa melakukan sesuatu dan memberi untuk orang lain dari kekurangan kita dan menjadikannya berkat. Ketika satu koper Rayya hilang dalam perjalanan, Rayya marah dan langsung menyalahkan dirinya yang percaya pada orang lain. Tapi lewat Arya kita diingatkan bahwa kita boleh tidak percaya, tapi tidak boleh untuk terus-terusan tidak percaya, karena hal-hal buruk terjadi hanya kadang-kadang. Dan tidak semua manusia tidak patut untuk diberi kepercayaan. Ketika Rayya mendapati baju-bajunya yang bernilai jutaan rupiah diloakkan dan dibeli pedagang di pasar dengan harga hanya puluhan ribu, kita diingatkan betapa materi adalah hal yang sangat mudah hilang dari genggaman. Terlalu berpegang pada materi hanya akan menyebabkan kita justru kehilangan materi tersebut. Harga yang dibayar tentulah sangat mahal.

Di samping itu, melalui film ini kita juga melihat bagaimana idealisme seringkali bergesekan dengan kepentingan ekonomi dan bisnis. Percakapan demi percakapan diantara tim produksi buku autobiografi Rayya dengan jelas menggambarkan betapa keinginan untuk membuat buku yang berkualitas dan ‘asli’ terbentur oleh biaya, kepentingan pasar, dan banyak faktor lainnya. Terlihat pula bahwa terkadang sebuah buku autobiografi tidak benar-benar menggambarkan sosok yang diangkatnya secara ‘penuh’, karena seperti yang berusaha dilakukan tim perancang buku Rayya, mereka hanya berkonsentrasi pada hal-hal baik dalam diri Rayya, dan tidak ingin Rayya terlihat kurang dari sempurna. Gambaran Rayya yang bagai bidadari seakan memberitahu penonton bahwa di dunia entertainment, semua orang punya panggung depan dan panggung belakang. Dan panggung belakang ini tidak akan terlihat kecuali kita mengenal individu tersebut secara lebih personal. Selain itu, tim penyusunan buku yang terdiri dari berbagai orang dengan latar belakang yang berbeda-beda tersebut diperlihatkan punya individualisme tinggi, saling menganggap suara dan opininya lah yang paling penting untuk didengar, dan terkadang saling membanggakan diri sendiri, yang bisa jadi menggambarkan pula apa yang ada di masyarakat sekarang ini.

Pada akhirnya, film Rayya, Cahaya di Atas Cahaya, berhasil menyampaikan bahwa ada ‘cahaya’ lain di luar orang-orang yang memang pada dasarnya selalu ada di bawah lampu sorot, dan diekspos di mana-mana. Semua orang bisa menjadi cahaya, bagi orang lain dan bagi lingkungan sekitar. Belajar pun tidak perlu hanya lewat jalur akademis, karena film sarat nuansa sastra dan teater ini dengan apik menunjukkan bahwa belajar bisa dilakukan melalui “Universitas Kehidupan”. Apalagi dengan suguhan kepiawaian akting Tio Pakusadewo yang mampu meredam Titi Sjuman yang terkadang terlampau meledak-ledak, cerita yang ditawarkan Rayya cukup mampu memberi makna bagi para penontonnya. Lewat tokoh Arya dan Rayya ini, kita bisa belajar nilai keberanian. Keberanian memilih, keberanian untuk bersyukur, keberanian untuk mengambil keputusan, keberanian untuk mendobrak nilai-nilai tradisional yang seringkali tak lagi laku di zaman modern ini. Keberanian untuk memaafkan dan melanjutkan hidup. Selain, tentu saja, menikmati keindahan alam bumi pertiwi lewat shot-shot panorama indah yang berhasil tertangkap kamera.

Popular Posts